Pertimbangan Memilih Sekolah untuk Anak Berdasar Usia


Pertimbangan memilih sekolah untuk anak berdasar usia

Hai Bunda
Kali ini #SelasaBercerita #ObrolanRumahTangga hadir lagi. Sekalian saya barengin sama #KEBloggingCollab karena temanya kebetulan senada. Kalau untuk postingan triggernya dari sini nih


Jadi mau ngebahas soal perlakuan anak menurut usianya. Karena Shoji dan Rey ini bedanya cuma 22 bulan, jadi sebenernya gak jauh jauh amat sih beda umurnya. Tambah lagi mereka satu ukuran, jadi sering dikira anak kembar. Sepertinya untuk orangtua dengan anak berjenis kelamin sama plus usia gak jauh beda, keduanya akan lebih suka memiliki benda benda yang sama.



Untuk orangtua, sebenarnya ini ada segi menguntungkan dan merugikan. Menguntungkan karena tidak akan ada proses rebut merebut, merugikannya setiap barang harus beli dua bijik. Kalau mainan, jadi kurang variatif gitu lho. Padahal misal beli satu orang satu dan yang lain beda kan bisa gantian mainannya #emakIrit2018.

Tidak ada perbedaan mendasar untuk saya dalam memperlakukan Shoji dan Rey. Mereka bertumbuh bareng dengan fasilitas yang kami usahakan se-seimbang mungkin. Meski kalau hal-hal tertentu mereka maunya sama, tapi untuk hobby, mereka punya hobby yang beda. Shoji lebih suka menyusun lego robot, sementara Rey lebih suka kertas dan spidol untuk menggambar.

Mereka berdua sama sama udah pernah saya cobakan sekolah sejak usia 2 tahun. Ada yang mogok, bener-bener mogok sampai dia cuma sekolah 3 bulan dan sisanya ngendon di rumah. Rugi biaya uang masuk 1 tahun sih iya banget. Penyebabnya ada rasa bosan dan akhirnya berefek pada semangat berangkat ke sekolah. Saya kurang tahu apakah ini dikarenakan load materi yang diajarkan atau lamanya jam di sekolah yang membuat mereka jadi kurang bersemangat.

Soal menghadapi teknologi, rentang usia mereka 2 tahun, Shoji sudah kenal gadget juga di usia 1 tahun. Saya sudah pakai gawai berbasis android kala itu. Tapi memang tidak pernah saya pegangin ke Shoji, karena gawai saya pakai untuk bekerja. Otomatis memang saya jauhkan dari Shoji supaya dia dan saya sama sama tidak terganggu dengan urusan rebut merebut maupun efek candu gawai untuk anak. Untuk Shoji masalah ini bisa diatasi.

Sementara Rey, dia lebih berkemauan keras untuk berusaha memenuhi hasrat ingin tahunya dari kotak kecil dengan aneka fitur pintar itu. Untuk mensiasati, kami terapkan metode 10 bintang minimal untuk reward penggunaan gawai, plus kami batasi hanya boleh pinjam gawai ayah, dengan mode pesawat. Ibaratnya reward bersyarat.

Baik Shoji dan Rey, cara ini cukup efektif. Ketika 10 aktivitas dalam tabel pencapaian harian sudah terpenuhi, maka mereka bisa menikmati reward bermain gawai dalam flight mode selama 2 jam setelah ayahnya pulang kerja/kuliah (biasanya setelah isya). Keduanya kami perlakukan sama. Kami belum melihat kebutuhan YouTube online untuk mereka nikmati, lebih karena mereka bisa request video apa yang ingin mereka download, maka Ayah akan mengunduh lalu menyimpan video dalam bentuk offline untuk ditonton bersama dan bisa diulang ulang.

Akhirnya setelah melihat kondisi anak anak yang memang ada persamaan mendasar dan perbedaan di beberapa sisi, saya jadi punya pertimbangan untuk memilih sekolah untuk keduanya. Tapi sekali lagi ini versi saya yaa, bisa disesuaikan dengan kebutuhan maupun visi misi keluarga yang saya yakin pasti punya pertimbangan lain selain yang jadi pertimbangan saya.

1. Lingkungan Sekolah
Kenapa penting? Buat saya tempat yang akan dikunjungi anak setiap hari haruslah tempat yang membuat anak merasa nyaman. Untuk anak anak PG/TK saya lebih memilih sekolah yang banyak area hijau (tumbuhan rindang dan area berumput yang luas). Seperti kita tahu, pohon besar adalah penghasil oksigen, jadi jelas kalau ruang main anak penuh dengan oksigen in sha Allah badan akan lebih segar ketika beraktivitas. Hamparan rerumputan hijau, selain terlihat asri juga aman untuk anak berlarian pun hingga terjatuh. Toh masih di tanah yang dipakai guling guling pun in sha Allah gak membahayakan. Anak anak usia TK adalah anak anak yang punya kebutuhan bergerak sangat tinggi. Dengan adanya ruang beraktivitas yang luas, hasrat bergerak Shoji Rey yang memang senang kegiatan outdoor akan tersalurkan. Sekali lagi, ini versi saya lho.

2. Antusiasme Guru
Sebagai seorang yang sempat selama 6 tahun berkecimpung di dunia kependidikan daycare, pre-school dan Kindergarten, saya ngerasa banget kok ada guru yang menempatkan diri sebagai panggilan hati dan guru yang menjadi guru sekedar menjalankan jobdesc. Memang sih seorang guru punya SOP untuk selalu meletakkan senyum di wajahnya, namun jelas berbeda saat senyum itu dari hati atau tuntutan pekerjaan saja.

Mau nggak mau, soal antusiasme ini pastinya berpengaruh banyak terhadap aktivitas mengajar atau transfer ilmu yang dilakukan. Mereka adalah ujung tombak penyampai ilmu kepada anak, pastinya harus jadi sosok yang bisa digugu dan ditiru anak, sekaligus bisa menjadi seorang teman bagi mereka. Salah satu yang saya lakukan saat survey sekolah adalah melihat aktivitas penyambutan anak di pagi hari. Bagaimana kesan pertama yang dihadirkan ketika seorang anak masuk ke lingkungan sekolah.

3. Visi dan Misi Sekolah
Ini sudah mulai mengerucut. Setelah dua hal diatas oke, maka pertimbangan gambaran besar dari harapan sekolah kepada anak didik perlu disamakan persepsinya. Visi misi oke kalau anak gak nyaman ya repot. Sebaliknya juga. Jika anak nyaman, tapi visi dan misi sekolah nggak sejalan ya kacau. Pastikan nilai nilai yang ingin kita sampaikan kepada anak seiring dengan yang dia terima dari sekolah. Supaya usaha kita juga terbantu ketika menyampaikan dari rumah.

Sekolah inklusi

4. Jarak
Jarak merupakan pertimbangan berikutnya. Sekolah bagus yang jauh sekali dari rumah biasanya saya coret dari daftar. Karena saya mengurangi resiko anak capek di jalan dan gak efektif secara waktu. Capek dan bosan dalam perjalanan yang akan dilakukan setiap hari bisa mempengaruhi mood anak. Kecuali kita punya stock segudang kreativitas hal-hal untuk meredam kebosanan dan capek dalam perjalanan. Kalau naik roda 4 sih mungkin bukan masalah, tapi kalau masih pakai motor? Duh, gak kebayang deh.

5. Cara Pembelajaran
Kesesuaian gaya belajar anak dengan cara penyampaian materi dari sekolah tentunya harus klop. Untuk anak anak saya yang lebih mudah menerima materi dalam bentuk langsung praktek, maka saya berusaha mencari sekolah dengan metode pengajaran semacam itu. Sifatnya interaktif dan tidak satu arah. Sayang sayang materi bagus tapi tidak bisa diserap anak karena beda gaya belajarnya.

Untuk Shoji yang masih dalam tahap belajar bicara di usianya yang 7 tahun, kami sadar tidak semua sekolah welcome dengan kondisinya. Maka itu, sekolah inklusi jadi pilihan. Sejauh ini Shoji justru banyak berkembang dan belajar karena melihat teman temannya yang "normal" sehingga dia termotivasi untuk terus belajar.

6. Melibatkan Orang Tua Secara Aktif
Meskipun ini poin ke 6, tapi termasuk penting buat saya. Sekolah yang melibatkan orang tua siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar adalah indikasi bahwa komunikasi sekolah dan orangtua berjalan baik. 

Adanya support group dari orang tua wali murid kepada sekolah dan kegiatan belajar mengajar adalah bentuk kepedulian sekolah akan keberlangsungan bonding orang tua dan anak. Kadang orang tua berperan sebagai guru tamu untuk berbagi ilmu. Bisa berupa ketrampilan yang dikuasai ataupun berbagi informasi mengenai profesi orang tua sebagai inspirasi untuk anak sekaligus media berkenalan dengan teman-teman anaknya. 

Selain itu hal ini juga memberi dampak kepada sang anak untuk mengetahui profesi orang tua dan ikut bangga ketika orangtuanya berbagi inspirasi di kelas.

Yah kira kira itu 6 poin penting buat kami sekeluarga dalam menentukan sekolah untuk Shoji dan Rey. Kebetulan tahun ini Shoji mencari SD. Kami yang rewel ini Alhamdulillah menemukan sekolah dengan kriteria yang cukup bisa memenuhi poin poin yang jadi pertimbangan kami.

Jangan lupa baca juga pengalaman Witri mencari sekolah untuk Juna di www.mamajuna.com yaaaa

Selam sayang
/Aya

5 comments

  1. Nomor dua misal skul udah memenuhi syarat lainnya kecuali nomor dua gimana Mbak?

    ReplyDelete
  2. Wah nice sharing mak Aya.. Buat aku 'Jarak' masih jadi poin pertama.. Mikirnya kalau terjadi apa2 sama Auf di sekolah aku ga butuh waktu lama utk samperin dia ke sekolahnya.. Kebetulan di dekat rumah banyak TK yang Insya Allah bagus semua, tinggal pilih aja mana suka :D

    ReplyDelete
  3. terimakasih tipsnya bund, kebetulan saya punya anak usia belum genap 5 tahun

    ReplyDelete
  4. Karena aku cuma punya adek, jadi belom bisa dipraktekkan nih mak. Tapi menurutku sih jarak itu yang menjadi pertimbangan utama. Soalnya adekku sendiri sekolahnya lumayan jauh, sampe kasian ngeliatnya setiap hari kecapekan di jalan duluan.

    ReplyDelete
  5. Jadi anak-anak tidak dibebaskan sepenuhnya untuk main android ya Mba',mantep nih.
    Kalau sekolah, aku lebih milih lingkungan yang utama, trus dilanjut biaya dan dan lainnya. Untungnya di desa gini biayanya nggak sebesar di kota besar, hehe. Thanks for sharing Mba' :)

    ReplyDelete