Showing posts with label dokter spesialis anak. Show all posts

Pentingnya Nutrisi di 1000 Hari Pertama Kehidupan

Hai Bunda,
Di postingan kali ini saya mau sedikit cerita soal masa kecil saya. Eh bukannya sekarang juga masih kecil yaaa. Kecil dalam arti sebenarnya. Soal kecil ini dari dulu sering juga lah dibully. Karena saya pendek, ada aja yang bisa jadi bahan untuk melakukan kekerasan secara verbal (duh bahasanya jadi serius).

Intinya hal ini sering banget bikin saya enggak percaya diri. Pokoknya berusaha mencari cara gimana bisa lebih tinggi lagi. Mulai dari ikutan senam-senam narik tubuh, berenang, sampe minum obat-obatan yang berakhir dengan seluruh tubuh saya gatal karena alergi.

Pernah tuh saya sampe beli wedges tinggi banget agar bisa keliatan nambah tinggi badan saya, tapi biasanya habis itu langsung kaki pegel-pegel gak karuan. Nah, karena postur saya yang mungil ini Kata suami sih tetep proporsional tapi dalam skala kecil 😄😄😄. Sering kalau di foto sendirian kelihatannya saya normal-normal aja tingginya. Eh tapi kalau foto sama teman teman baru ketauan kalau memang paling mungil ukurannya.

Pengalaman Bertemu Ahli Bedah Syaraf (Prof DR.dr. Zainal Muttaqin Sp.BS PhD)


Hai Bundas,
Rabu kemarin kami sekeluarga ke Semarang. Kami memang sudah cukup lama berencana mau bertemu dengan Prof Zainal, seorang ahli bedah syaraf yang cukup senior. Saya mendengar cukup banyak tentang beliau, dan juga sempat melihat re run saat beliau diwawancarai Kick Andi melalui YouTube. Disana Prof. Zainal bercerita mengenai proyek proyeknya menangani pasien pasien dengan kejang epilepsi.

Sebenarnya saya pribadi merinding saat mendengar bedah syaraf. Bayangan saya, bedah syaraf itu bedah otak, harus bolongin dan buka tempurung kepala dan ngudel udel bagian otak.

Elektroensefalogram (Test EEG) Aisha di RSA UGM

Suasana tes elektroensefalografi

Hai Bundas,

Ada rasa deg degan setiap kali Aisha diminta menjalani berbagai test. Ya iyalah, pas testnya  gak deg degan, tapi pas ambil hasilnya itu loooh...

Dan seperti biasa saya nggak pernah bisa tidur (abaikan tadi sempet nyeruput kopi) tapi memang kalau mau ada acara keesokan hari, mau pergi jauh, atau apapun lah, saya emang susah tidur. Kepikiran dan kurang kekinian (maksudnya merasakan masa kini/sekarang) jadi terlalu takut mikirin yang akan terjadi kedepannya.

Baca: ASSR test untuk Aisha

Begitu pun saat Aisha di awal awal terdeteksi Global Developmental Delay, rasanya seperti dunia mau runtuh kali ya...semua harapan saya yang saya pupuk jauh jauh hari kalau punya anak cewek berasa jauh di awang awang.

Nah, besok pagi kami akan ambil hasil test EEG Aisha nih, dan saya masih aja deg degan

Baca : Screening pendengaran dengan OAE

Ijinkan saya cerita sedikit tentang pengalaman test EEG Aisha yaaaa.

Menurut Wikipedia:
Elektroensefalogram (EEG) adalah salah satu tes yang dilakukan untuk mengukur aktivitas kelistrikan dari otak untuk mendeteksi adanya kelainan dari otak. Tindakan ini menggunakan sensor khusus yaitu elektroda yang dipasang di kepala dan dihubungkan melalui kabel menuju komputer.

Sedangkan Elektroensefalografi (EEG) adalah merekam aktivitas elektrik di sepanjang kulit kepala. EEG mengukur fluktuasi tegangan yang dihasilkan oleh arus ion di dalam neuron otak. Dalam konteks klinis, EEG mengacu kepada perekaman aktivitas elektrik spontan dari otak selama periode tertentu, biasanya 20-40 menit, yang direkam dari banyak elektroda yang dipasang di kulit kepala.


EEG (elektroensefalogram)

Awalnya adalah saat dokter Vetria menanyakan apakah Aisha sering kejang. Kami jawab Aisha memang sering kejang, meskipun kejangnya tidak keseluruhan sampai ke mata. Hanya saja beberapa anggota badannya bergerak berulang dan tidak bisa tenang kembali saat kita pegang. Dari situ dokter Vetria menduga bahwa memang Aisha masih sering kejang. Beliau juga meresepkan obat untuk Aisha berupa piracetam yang fungsinya untuk pengobatan mioklonus (kelainan kontraksi otot yang terjadi tanpa disadari, seperti cegukan, tremor dan kedutan). Mioklonus bisa disebabkan oleh gangguan pada sistem saraf (misalnya epilepsi, stroke dan tumor otak).

Piracetam diberikan bersama alinamin dalam bentuk puyer racik dan phenobarbital untuk meredakan aktivitas kelistrikan yang berlebihan di dalam otak dan dengan demikian, membantu mencegah timbulnya kejang.

Persiapan test EEG

Akhirnya kami membuat janji untuk test EEG. Yang perlu dipersiapkan untuk test EEG adalah:
1. Kalau bisa anak diajak main hingga larut, sehingga dia tidur lebih malam
2. Anak dibangunkan pagi pagi, usahakan tidak tidur sampai di rumah sakit. Supaya anak mengantuk dan tidak perlu minum obat tidur.
3. Sorenya anak dikeramas supaya kulit kepalanya bersih, karena mau ditempel elektroda elektroda untuk keperluan testnya.

Pengalaman Aisha kemarin sudah kami ajak main dan tidurnya larut. Aisha juga bangunnya pagi sekitar jam 4, cuma setelah itu Aisha tidur lagi. Sampai di RS Aisha masih tidur hiks...
Akhirnya terpaksa deh, Aisha disuntik obat bius.

Bukan cerita lucu namanya kalau bukan Aisha.

Baca: cerita CT scan Aisha

Kejadian terulang lagi. Aisha tidak tidur setelah diberi obat tidur hiks...dia masih sering bangun bangun, sehingga pas pemasangan elektrodanya saya harus nyusuin untuk menjaga dia tetap tenang. Pun saat test dilakukan, Aisha tampaknya belum benar pulas tertidur. Matanya masih terbuka dan bergerak ke sana kemari. Apalagi rambut Aisha cenderung lebat, hihihi... Perawatnya sampai kaya kapster salon jadinya. Sisir sana, sisir sini, sibak sana, sibak sini. Saya nyusuin sambil berdoa, semoga pas tes EEG nya Aisha dalam kondisi tidur pulas.

Tes EEG dimulai, perawat mulai menyiapkan komputer untuk merekam aktivitas gelombang otak Aisha. Aisha masih gelisah, geleng kiri geleng kanan. Saya nggak tau yaa...apakah itu udah lelap Aisha-nya, tapi dia masih geliat geliat intinya.
Ada kamera juga diatas kepala Aisha dan perawat minta wajah Aisha diusahakan menghadap kamera.

Selanjutnya ada semacam lampu disko (apalah ya namanya, kelap kelip gitu) awalnya pelan, lalu kemudian cepat juga. Nah ada lampu begitu Aisha tetap aja nggak merespon.

Tak berapa lama, perawat bilang kalau test EEG sudah selesai. Aisha masih tetep gelisah geliat geliut. Begitu saya gendong, Aisha puleeeees banget.

Sebelumnya perawat sudah menyampaikan, bahwa kalau disuntik obat bius begini efeknya lama. Alhasil, benarlah dari pagi sampai sore Aisha tidur lama sekali. Sudah coba dibangunkan juga gak bangun bangun, tapi tetep aja saya "paksa" untuk minum susu. Untungnya meski mata merem tetep aja Aisha bisa micubun.

Pengangkatan elektroda elektroda di kepala (EEG)

Setelah EEG selesai

PR selanjutnya adalah membersihkan rambut Aisha dari pasta super lengket ituuu...rambutnya sempet saya coba cobain gaya mohawk segala *emakusil* tapi dimarahin sama eyang utinya hahaha....jadi segeralah saya siapkan air hangat untuk keramas. Tak berapa lama, rambut indah dan lembut Aisha sudah kembali yeaaayy...
Nah, sekarang tinggal tunggu hasil EEG yang bisa diambil seminggu kemudian :)

Mengenai hasilnya? Mari kita pindahan ke postingan berikutnya :)

Adakah temen temen yang pernah test EEG atau diminta tes EEG juga sama dokter? Sharing yuk indikasinya apa sampai diminta test EEG.

Love,
/Aya

Seberapa perlu CT scan dilakukan?

Alat CT Scan, foto dari mediskus.com
Hai Bundas

Kali ini saya mau cerita mengenai CT scan Aisha. Kenapa Aisha perlu CT scan segala sih? Bukannya berbahaya yah CT scan itu, terutama untuk anak anak karena pengaruh radiasinya.

Well, hasil baca baca saya disana sini, jika memang tidak terpaksa sekali, CT scan sebenarnya tidak perlu dilakukan. Termasuk untuk anak yang kepalanya sering terbentur, asalkan benturannya itu tidak membuat behaviour si anak berubah. Jika setelah terbentur anak sempat pingsan, maka itu tanda tanda bisa terjadi gegar otak ringan, mungkin CT scan memang diperlukan. Namun jika tidak ada bengkak di bagian tubuh lain (selain yang terkena benturan), maka insyaAllah kondisi kepala anak baik baik saja dan tidak perlu CT scan.

Seperti pada cerita sebelumnya,

Baca: Sekilas tentang Toksoplasma dan CMV

Kami sedang berusaha menegakkan diagnosa untuk Global Developmental Delay Aisha. Karena lingkar kepalanya yang kecil, ada kekhawatiran mengarah pada mikrosefali, ada ketakutan juga kalau ubun ubunnya sudah menutup. CT scan ini juga untuk memastikan kondisi otak Aisha seperti apa dan bagaimana penanganannya.

Untuk CT scan, kami tidak perlu menunggu lama, setelah dapat approval dari dokter anak (dokter Vetria) kami mendapat surat rujukan untuk langsung cek kepala Aisha dengan CT scan.
Baru pertama kali mengantar untuk periksa CT scan, langsung ditanya sama mas teknisinya, "ibu nggak lagi hamil kan?" disarankan oleh mas teknisinya, kalau saya sedang hamil, ayahnya saja yang menunggui. Karena saya Alhamdulillah tidak sedang hamil, maka saya bisa menemani Aisha, namun selanjutnya saya diminta untuk menidurkan Aisha dulu, karena CT scan bisa terlaksana kalau hasil fotonya gak blur dan kepala Aisha bisa tenang.

Akhirnya kami ijin keluar dulu menidurkan Aisha, sudah beberapa kali gantian sama Ayah Shoji, Aisha belum mau tidur juga. Lalu mas teknisi menawarkan opsi, apakah mau diberi obat tidur atau dipegangi saja dagunya. Saya nggak tega, kasian Aisha kalau dibius lagi. Akhirnya Ayah bersedia memegangi dagu Aisha selama pemeriksaan.

Sebelum dimulai, saya diminta untuk masuk ke ruangan di sebelah (seperti pemantau dan kami melihat lewat kaca). Untuk Ayah Shoji diberi baju khusus untuk mengurangi radiasi.

Akhirnya pemeriksaan dilakukan. Tidak sampai 5 menit kok, cepet banget kayanya. Saya sambil berdoa harap harap cemas, hasil fotonya bagus sehingga tidak perlu mengulang.

Untuk hasil CT scan ini, katanya bisa diambil hasilnya di hari berikutnya, jadi hanya perlu menunggu 1 hari untuk bisa dapat hasilnya.

Keluar dari ruangan CT scan, Aisha saya gendong. Sedari tadi ditidurkan sampai gantian. Ayah dan bundanya turun tangan gak mempan, eh ternyata keluar ruangan sudah pulas dia. Ajaib memang Aisha ini hehehe...

Deg degan juga sewaktu kami bertemu Dr Vetria untuk mendiskusikan hasil CT scan Aisha. Secara medis sesuai hasil CT scan, Aisha didiagnosa menderita enchepalomalacia lobus parietal bilateral.

Saya langsung googling untuk mengetahui lebih banyak tentang ini.
Encephalomalacia/ Ensefalomalasi adalah perlunakan atau nekrosa otak yang disebabkan gangguan pada vaskularisasi (emboli, trombosa), perdarahan-perdarahan otak, radang bernanah, infeksi jamur, dan defisiensi gizi (Ressang, 1984).

Pada bagian otak, Lobus parietalis letaknya di belakang sulkus sentral. Lobus parietal bertanggung jawab untuk mengintegrasikan informasi sensorik dari berbagai bagian tubuh. Fungsi dari lobus parietalis meliputi pengolahan informasi, gerakan, orientasi spasial, speech, persepsi visual, persepsi rangsangan, rasa sakit dan sensasi sentuhan, dan kognisi.

Kerusakan lobus parietal kiri menyebabkan sindrom Gerstmann, afasia (gangguan bahasa), dan agnosia (persepsi abnormal benda). Jika yang rusak yang kanan, maka penderita akan kesulitan dalam membuat sesuatu, keterampilan perawatan pribadi terganggu dan kemampuan menggambar.  

Dalam kasus Aisha, enchepalomalacia lobus parietal bilateral,  menyebabkan sindrom Balint,  yang ditandai dengan terganggunya perhatian visual dan aktivitas motorik.

Hela nafas dulu...
Kaget, sedih, terpukul...pasti. Tapi apapun itu, kami berusaha memberikan perawatan terbaik untuk Aisha dan tetap berpikir positif, karena kami percaya, semua hal masih sangat mungkin terjadi. Kuatkan ikhtiar dan doa selalu :)

Love,
/Aya


Fisioterapi, rutinitas baru Aisha

Jumat, 29 April 2016

Fisioterapi

Hai Bundas
Hari ini Aisha fisioterapi yang kedua kali. Setelah kemarin jadwal hari Selasa siang, yang kedua ini Jumat siang.
Sesi terapi kali ini Aisha tampaknya dalam kondisi prima. Aisha sudah pup dan baru bangun tidur, jadinya seger seger aja waktu diterapi.
Jika terapi sebelumnya Aisha masih banyak menangis, lalu menegang negangkan badan, maka sesi kedua ini Alhamdulillah sudah banyak sekali perkembangan lho.

Contohnya untuk pas neurostructure, Aisha kelihatan lebih menikmati. Dia diam saja sambil senyum senyum saat mba Ima mengelus elus wajah, tangan dan kakinya.

Ketika senam merangkak pun Aisha tampaknya cuma menangis manja, tidak sampai teriak teriak seperti kemarin. Lalu, yang buat saya dan mba Ima cukup surprise adalah Aisha sudah tidak menangis lagi ketika ditengkurapkan. Ini pencapaian luarbiasa loh, karena sebelum fisio, Aisha nggak pernah suka saat ditengkurapkan.

Fisioterapi
Begitu juga saat bermain gym ball. Aisha sudah lebih nyaman bahkan saat gym ball digoyang goyang. Hanya saja ketika oral massage Aisha masih menangis keras. Belum nyaman juga bagian mulutnya dipijat.

Sudah dua kali fisioterapi ini, Alhamdulillah sedikit demi sedikit badan Aisha jauh lebih baik posturnya. Sampai ketemu di jadwal fisioterapi berikutnya ya...

Love
/Aya

Global Developmental Delay apa dan bagaimana?

Neurotam + enchepabol

Hai Bundas

Akhirnya terbit juga postingan ini. Setelah 4 hari terpending karena Rey sakit (diduga) ISK dan Aisha sedang masa adaptasi Dengan terapi terapi pertamanya.

Baiklah, saya lanjutkan cerita tentang Aisha yaa. Setelah sebelumnya postingan mengenai Screening gangguan pendengaran dengan OAE dan ASSR test untuk Aisha, kali ini saya mau cerita hasil kami menemui dokter Anak spesialis tumbuh kembang.

Setelah observasi pendengaran kemarin, Aisha dinyatakan kondisi pendengarannya baik. Namun ada hal yang menjadi concern dokter Ashadi, yaitu kemampuan Aisha untuk merespon sangat jauh tertinggal dari anak seusianya.

Saat ini Aisha sudah 7 bulan, namun kompetensinya masih seperti anak usia 1 bulan!

Bagaimana bisa begitu?

Well, setelah menemui Dr Suroyo Mahfudz, Sp.A TK, berdasar observasi beliau tentang kondisi Aisha, maka beliau mengatakan Aisha adalah bayi dengan Global Developmental Delay.

Apa itu Global Developmental Delay?

Dalam pertumbuhannya, anak anak akan terus dipantau perkembangannya secara berkala. Ada tahapan tahapan yang sudah harus dikuasai anak pada range usia tertentu. 

Pada kasus Aisha, banyak ditemukan keterlambatan dalam tumbuh kembangnya. Diantaranya, saat ini Aisha masih kesulitan untuk mengangkat kepala dengan stabil. Hal ini seharusnya sudah mampu dilakukan anak usia 3 sampai 4 bulan. Begitu juga dengan kemampuan motorik kasar seperti berguling, atau fokus pandangan matanya.

Itulah mengapa, Aisha membutuhkan banyak test untuk menegakkan diagnosa dan mencari penyebab terjadinya GDD ini. Hal ini akan selalu dipantau berkala oleh dokter anak, psikolog, terapis (terapi wicara maupun okupasi) lalu dievaluasi.

Aisha sendiri kata Dokter Royo saat melihat riwayat kelahirannya adalah bayi berisiko tinggi. Bayi berisiko tinggi itu punya kemungkinan lebih besar untuk punya hambatan dalam tumbuh kembangnya ke depan. 

Yang mempengaruhi diantaranya saat kehamilan kena infeksi toksoplasma, TORCH, hiperemesis, ketuban berlebihan, anemia, minum obat obatan juga.

Selain itu, ternyata bayi berisiko juga diakibatkan saat proses persalinan yang lama, bayi tidak menangis/ asfiksia berat, BBLR. 

Aisha kemarin juga terdeteksi mengalami hiperbilirubinemia, selain itu dia pernah kejang, hipoglikemia dan hipotermia.

Dalam kasus Aisha ternyata terdapat komplikasi berbagai indikasi, sehingga efeknya gangguan tumbuh kembang yang meliputi pertumbuhan fisik maupun perkembangan motoriknya. Hal ini juga berpengaruh terhadap gangguan pendengaran dan psikososialnya.

Nah, karena penanganan Aisha butuh banyak proses, kami perlu bersabar. Saat ini selain terapi fisik rutin dan minum obat tiap pagi sore, obatnya neurotam +enchepabol. Aisha juga perlu menjalani pemeriksaan CT Scan untuk mengetahui lebih lanjut dan mendeteksi kemungkinan kalsifikasi intrakranial, mikrosefali, hidrosefalus, ataupun perdarahan intrakranial.

Bismillah, semoga Allah melancarkan segala ikhtiar dan beri yang terbaik untuk Aisha yaaaa..

Love, /Aya